Sabtu, 12 Mei 2012



Biopremium Pro-rakyat

Oleh


Jaja Jamaludin, M.Si. (Peminat Masalah Green-Energy)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagaimana dimuat tempo.co edisi 4 April 2012, mengaku akan terus mencari cara untuk mengatur volume konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi. Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo mengeluarkan wacana untuk menyediakan bahan bakar jenis campuran antara Pertamax dengan Premium atau Premix . Wacana ini patut dicermati dari berbagai aspek.

Dalam sudut pandang pemerintah yang mengupayakan penyelematan anggaran dengan cara reduksi subsidi BBM tentu wacana BBM campuran ini bisa cukup signifikan dan oleh karenanya kita dapat mengapresiasi gagasan atas wacana ini. Dalam perhitungannya, wamen ESDM seperti dikutip tempo.co menyebutkan bahwa harga BBM campuran (Premix RON 90) dibanderol Rp 7.250 per liter. Ini bertujuan untuk memperkecil disparitas harga antara BBM subsidi dengan non-subsidi. Saat ini harga BBM non-subsidi jenis Pertamax Rp 10.200 per liter dan jenis Pertamax plus sebesar Rp 10.350 per liter, sedangkan harga BBM subsidi jenis Premium sebesar Rp 4.500 per liter.

Konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi pada tahun ini, seperti ditulis kompas.com edisi 1 April 2012 diperkirakan bisa mencapai angka 47 juta kiloliter. Hal ini berarti jauh di atas asumsi volume BBM bersubsidi dalam APBN-Perubahan 2012 yang ditetapkan 40 juta kiloliter. Dengan harga BBM campuran Premix RON 90 yang akan berharga Rp. 7.250 pr liter, perkirakan akan mereduksi subsidi BBM sebesar 47 juta KL kali (7.250-4.500) atau sebesar 129 Triliun. Jelas ini angka reduksi yang amat signifikan. Tapi pertanyaannya siapa yang bayar reduksi itu??? Pastilah rakyat juga.



Premix Tidak Pro Rakyat

Wacana BBM campuran Premix RON 90 yang diwacanakan wamen ESDM jelas sangat kentara hanya baik menurut pemerintah. Sejatinya wacana solusi problem subsidi BBM haruslah rakyat yang menang dan diuntungkan. Sebab buat apa Negara dan pemerintah diberi kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam kalau akhirnya rakyat harus menanggung resiko membeli BBM menjadi mahal. Dengan kata lain, wacana wamen ESDM ini hanya berkutat utak atik angka belaka agar APBN selamat, pemerintah selamat, sama sekali tidak memberi keuntungan bagi rakyat. Rakyat, sama sekali tidak diuntungkan. Rakyat hanya diminta membeli barang dengan judul merk yang berbeda. Yang semula bernama Premium menjadi Premis. Jadi, Solusi BBM campuran jelas bukan pemikiran ekonomi kerakyatan.

Biopremium Pro Rakyat

Pada 2008, sebagaiamana ditulis Antara edisi Rabu 20 Agustus 2008, dimana harga premium dengan Rp 6.000, sebagai bentuk perhatian Pertamina terhadap pemakaian bahan bakar alternatif di Indonesia, Pertamina memperluas pemasaran biofuel dalam bentuk BioPremium. Dengan menjual BioPremium, Pertamina berarti telah memiliki satu lagi jenis biofuel di samping BioPertamax dan BioSolar yang selama ini telah dipasarkan. BioPremium adalah bahan bakar cair yang merupakan hasil blending antara 98 Premium (produk kilang) dengan 2% ethanol. Produk Bio Premium PERTAMINA ini memenuhi standard mutu dari Dirjen Migas No.3674 K/24/DJM/2006. Keunggulan-keunggulan lain yang dimiliki oleh BioPremium adalah ramah lingkungan, emisi gas buang lebih baik, pembakaran lebih sempurna, tidak perlu modifikasi mesin/alat, memperpanjang umur mesin, merupakan bahan bakar terbarukan dan bersifat detergensi (membersihkan ruang bakar).

Roy Hendroko, pada 26 Mei 2009 dalam papernya, yang dimuat dalam milis APBI mengatakan bahwa Pemerintah menetapkan kewajiban minimal pemanfaatan bioetanol sebagai pencampur premium. Sejak 1 Januari 2009, premium bersubsidi (Public Service Obligation PSO) yang diedarkan di Indonesia harus di blend dengan 1% bioetanol yang diberi merk Biopremium, pada premium non PSO –yakni BioPertamax- di blend 5% bioetanol. Lebih lanjut Roy Hendroko menjelaskan bahwa hal yang sama pada premium untuk industri dan komersial diwajibkan mencampur bioetanol sebesar 5%. Pada 1 Januari 2010 blending ditingkatkan, PSO menjadi 3%, Non PSO ke 7%, dan industri serta komersial ke 7%. Bertahap sampai tahun 2025, semua katagori premium diwajibkan di oplosh dengan bioetanol sebesar 15%. Cukupkah produksi bioetanol Indonesia?

Dengan demikian pada saat harga bahan bakar minyak naik, mengapa kita tidak kembali menggunakan dan memberdayakan atau melakukan upaya diversifikasi produksi Bioetanol? Bioetanol adalah bahan bakar yang dibuat dari umbi-umbian dan tumbuhan, salah satunya adalah aren dan singkong. Bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor sudah dipakai sejak permulaan abad ke 20 di Brasil, Prancis, Jerman, Swedia, Amerika, India, dan negara lain. Henry Ford melihat bioetanol sebagai bahan bakar untuk kehidupan hari depan. Namun dalam pengembangan lebih lanjut, BBM dari petroleum yang harganya lebih murah telah menjadi dominan. Biotanol juga dipakai secara luas di Brasil dan Amerika. Semua kendaraan bermotor di Brasil saat ini menggunakan bahan bakar yang mengandung paling sedikit kadar bioetanol sebesar 20%. Pertengahan 1980, lebih dari 90% dari mobil baru dirancang untuk memakai etanol murni.

Bila melihat potensi bahan baku yang sangat potensial di Negara kita untuk memproduksi bioethanol, maka melakukan BBM campuran antara premium dengan Bioethanol menjadi Biopremium sangat mungkin. Selain regulasi dan potensi bahan baku yang potensial, juga konsep Biopremium akan sangat memberi dampak positif terhadap produksi bioethanol yang berbasis rakyat banyak. Tentu, pemerintah dan seluruh stakeholder BBM dan bioethanol terlebih dahulu menentukan cetak biru secara nasional yang juga disetujui oleh parlemen agar menjadi gerakan nasional pemberdayaan energy berbahan baku terbarukan.

Dengan mencampurkan premium (90%) dengan kadar oktan 88 dengan bioethanol (10%) dengan kadar oktan 118 menjadi Biopremium dengan kadar oktan sekitar 90 an, maka dengan harga jual sekitar misalnya Rp. 7.000 per liter, maka yang diuntungkan bukan saja APBN tetapi juga geliat ekonomi rakyat yang terdampak positif atas kebijakan diversifikasi produksi bioethanol berbasis kerakyatan akan sangat luar biasa besar. Bahkan boleh jadi, dengan langkah secara bertahap penggunaan Biopremium, maka secara bertahap pula Negara tengah mentransformasi ke penggunaan BBM berbahan baku terbarukan.

Mungkin penggunaan BioPremium secara besar-besaran tidak akan secepat Premix namun, terdapat keuntungan yang dapat dirasakan bukan saja oleh pemerintah tapi juga masyarakat luas. Secara piskologis, rakyat akan lebih menerima solusi Biopremium ketimbang Premix. Sebab, konsumen bahan bakar minyak, akan melihat ada kompensasi berupa dampak positif keuntungan bagi diversifikasi produksi bioethanol berbasis kerakyatan. Misalnya, akan tumbuh subur pabrik yang memproduksi bioethanol skala mikro, menengah dan besar berbasis rakyat yang akan melibatkan tenaga kerja puluhan juta orang. Tentu saja akan terjadi diversifikasi produksi bahan baku berupa memperluar jutaan hektar perkebunan (aren, misalnya) dan jutaan hektar pertanian (lahan singkong).

Seyogyanya, pemerintah cukup serius mengelaborasi wacana wamen ESDM yang mewacanakan Premix. Dalam jangka pendek, boleh jadi wacana penggunaan premix bisa dipertimbangkan, meskipun keuntungannya sepihak yakni pemerintah saja. Tetapi secara bersamaan pemerintah segera melaksanakan prakondisi penerapan bioremium dalam jangka menengah. ###wallahu’alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar