Sabtu, 19 Mei 2012

. The Analysis of Biodiesel for Inorganic Contaminants, using Atomic Spectroscopy Techniques Fossil fuels (oil, natural gas and coal) contribute ~8

The Analysis of Biodiesel for Inorganic Contaminants, using Atomic Spectroscopy Techniques


Fossil fuels (oil, natural gas and coal) contribute ~80% of the total world energy supply. Depending on the production and consumption rates, the presently known reserves of fossil fuels are estimated to last anywhere from 41 to ~700 years. The limited supply of fossil fuels, concerns for energy security and the need to respond to climate change have led to growing worldwide interests in renewable energy sources such as biofuels. Many observers consider biofuels to be the only feasible option for the substitution of fossil fuels in the transport sector. Currently, the most important biofuels are biodiesel and bioethanol, commonly referred to as first-generation biofuels. Biofuels are renewable fuels derived from biological feedstocks, and include both liquid forms such as bioethanol (gasoline equivalent) and biodiesel (diesel equivalent), and gaseous forms such as biogas (e.g., methane). Biodiesel, especially those derived from vegetable oils, have been highlighted as an alternative for diesel engines due to their similar physical-chemical properties to petroleum diesel and also because they decrease pollutant emissions compared with fossil fuels. Blends with up to 20% biodiesel (B20) offer lubricity and can be used in diesel engines without modification. Blends can improve combustion processes, yielding reductions in particulate matter, oxides of nitrogen, sulfur and hydrocarbons. In its simplest analysis, biofuels are considered to be carbon neutral because all carbon dioxide released during biofuel combustion is offset by carbon fixation during plant growth. Studies over the past 15 years show that the displacement of gasoline or diesel by biofuels can result in average net reductions in green house gas emissions of 31% for bioethanol, 54% for biodiesel and 71% for cellulosic ethanol. The emissions are lower and the fuel replaces some of the lubricity lost in removing sulfur to comply with new diesel fuel regulations. Sulfur limits in conventional diesel fuel have been lowered from 500 ppm to less than 15 ppm in the U.S. and less than 10 ppm in Germany and other EU countries. Measurements of sulfur and other metals in biodiesel are important to ensure adequate performance of the fuel. The quality of biodiesel is critical in providing good combustion and in preserving engine integrity. The raw oil is generally low in inorganic contaminants, but the final material needs to be analyzed to ensure catalyst traces are low (Na and K) or that no other inorganic contaminant has been introduced during manufacturing. High Levels of Na and K can form a soap solution and are common catalysts of the biodiesel reaction. If not removed they can cause instability and filter clogging. Ca and Mg can also form soap and the creation of problems similar to those caused by Na and K. Sulfur and phosphorous are both considered “carryover elements” from vegetable oil (P from phospholipids and S from glucosinilates). Sulfur and phosphorous are both potential catalyst poisons. Presence of metals can also degrade the oxidational stability of biofuels thereby decreasing the shelf life. The U.S. and Europe have put specifications in place to define biodiesel that is of good quality and will perform well in a combustion engine. ASTM has published specification D6751-07 for FAME and B 99.9%. ASTM D975 is the specification for different diesel compositions and other blends. CEN has published specification EN 14214 for the same purpose. Testing is important for all biodiesel manufacturers to demonstrate that their product meets quality standards. Testing may be required whenever there is a change in raw material, equipment, catalyst or even material supplier. Atomic spectroscopy techniques such as atomic absorption (flame and furnace), inductively coupled plasma – optical emission (ICP-OES), and inductively coupled plasma – mass spectrometry (ICP-MS) have been used for the determination of trace elements in oils. In some cases the capabilities of the techniques overlap and several are suitable for a particular analytical scenario.

Sabtu, 12 Mei 2012



Biopremium Pro-rakyat

Oleh


Jaja Jamaludin, M.Si. (Peminat Masalah Green-Energy)

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagaimana dimuat tempo.co edisi 4 April 2012, mengaku akan terus mencari cara untuk mengatur volume konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi. Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo mengeluarkan wacana untuk menyediakan bahan bakar jenis campuran antara Pertamax dengan Premium atau Premix . Wacana ini patut dicermati dari berbagai aspek.

Dalam sudut pandang pemerintah yang mengupayakan penyelematan anggaran dengan cara reduksi subsidi BBM tentu wacana BBM campuran ini bisa cukup signifikan dan oleh karenanya kita dapat mengapresiasi gagasan atas wacana ini. Dalam perhitungannya, wamen ESDM seperti dikutip tempo.co menyebutkan bahwa harga BBM campuran (Premix RON 90) dibanderol Rp 7.250 per liter. Ini bertujuan untuk memperkecil disparitas harga antara BBM subsidi dengan non-subsidi. Saat ini harga BBM non-subsidi jenis Pertamax Rp 10.200 per liter dan jenis Pertamax plus sebesar Rp 10.350 per liter, sedangkan harga BBM subsidi jenis Premium sebesar Rp 4.500 per liter.

Konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi pada tahun ini, seperti ditulis kompas.com edisi 1 April 2012 diperkirakan bisa mencapai angka 47 juta kiloliter. Hal ini berarti jauh di atas asumsi volume BBM bersubsidi dalam APBN-Perubahan 2012 yang ditetapkan 40 juta kiloliter. Dengan harga BBM campuran Premix RON 90 yang akan berharga Rp. 7.250 pr liter, perkirakan akan mereduksi subsidi BBM sebesar 47 juta KL kali (7.250-4.500) atau sebesar 129 Triliun. Jelas ini angka reduksi yang amat signifikan. Tapi pertanyaannya siapa yang bayar reduksi itu??? Pastilah rakyat juga.



Premix Tidak Pro Rakyat

Wacana BBM campuran Premix RON 90 yang diwacanakan wamen ESDM jelas sangat kentara hanya baik menurut pemerintah. Sejatinya wacana solusi problem subsidi BBM haruslah rakyat yang menang dan diuntungkan. Sebab buat apa Negara dan pemerintah diberi kekuasaan untuk mengelola sumber daya alam kalau akhirnya rakyat harus menanggung resiko membeli BBM menjadi mahal. Dengan kata lain, wacana wamen ESDM ini hanya berkutat utak atik angka belaka agar APBN selamat, pemerintah selamat, sama sekali tidak memberi keuntungan bagi rakyat. Rakyat, sama sekali tidak diuntungkan. Rakyat hanya diminta membeli barang dengan judul merk yang berbeda. Yang semula bernama Premium menjadi Premis. Jadi, Solusi BBM campuran jelas bukan pemikiran ekonomi kerakyatan.

Biopremium Pro Rakyat

Pada 2008, sebagaiamana ditulis Antara edisi Rabu 20 Agustus 2008, dimana harga premium dengan Rp 6.000, sebagai bentuk perhatian Pertamina terhadap pemakaian bahan bakar alternatif di Indonesia, Pertamina memperluas pemasaran biofuel dalam bentuk BioPremium. Dengan menjual BioPremium, Pertamina berarti telah memiliki satu lagi jenis biofuel di samping BioPertamax dan BioSolar yang selama ini telah dipasarkan. BioPremium adalah bahan bakar cair yang merupakan hasil blending antara 98 Premium (produk kilang) dengan 2% ethanol. Produk Bio Premium PERTAMINA ini memenuhi standard mutu dari Dirjen Migas No.3674 K/24/DJM/2006. Keunggulan-keunggulan lain yang dimiliki oleh BioPremium adalah ramah lingkungan, emisi gas buang lebih baik, pembakaran lebih sempurna, tidak perlu modifikasi mesin/alat, memperpanjang umur mesin, merupakan bahan bakar terbarukan dan bersifat detergensi (membersihkan ruang bakar).

Roy Hendroko, pada 26 Mei 2009 dalam papernya, yang dimuat dalam milis APBI mengatakan bahwa Pemerintah menetapkan kewajiban minimal pemanfaatan bioetanol sebagai pencampur premium. Sejak 1 Januari 2009, premium bersubsidi (Public Service Obligation PSO) yang diedarkan di Indonesia harus di blend dengan 1% bioetanol yang diberi merk Biopremium, pada premium non PSO –yakni BioPertamax- di blend 5% bioetanol. Lebih lanjut Roy Hendroko menjelaskan bahwa hal yang sama pada premium untuk industri dan komersial diwajibkan mencampur bioetanol sebesar 5%. Pada 1 Januari 2010 blending ditingkatkan, PSO menjadi 3%, Non PSO ke 7%, dan industri serta komersial ke 7%. Bertahap sampai tahun 2025, semua katagori premium diwajibkan di oplosh dengan bioetanol sebesar 15%. Cukupkah produksi bioetanol Indonesia?

Dengan demikian pada saat harga bahan bakar minyak naik, mengapa kita tidak kembali menggunakan dan memberdayakan atau melakukan upaya diversifikasi produksi Bioetanol? Bioetanol adalah bahan bakar yang dibuat dari umbi-umbian dan tumbuhan, salah satunya adalah aren dan singkong. Bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor sudah dipakai sejak permulaan abad ke 20 di Brasil, Prancis, Jerman, Swedia, Amerika, India, dan negara lain. Henry Ford melihat bioetanol sebagai bahan bakar untuk kehidupan hari depan. Namun dalam pengembangan lebih lanjut, BBM dari petroleum yang harganya lebih murah telah menjadi dominan. Biotanol juga dipakai secara luas di Brasil dan Amerika. Semua kendaraan bermotor di Brasil saat ini menggunakan bahan bakar yang mengandung paling sedikit kadar bioetanol sebesar 20%. Pertengahan 1980, lebih dari 90% dari mobil baru dirancang untuk memakai etanol murni.

Bila melihat potensi bahan baku yang sangat potensial di Negara kita untuk memproduksi bioethanol, maka melakukan BBM campuran antara premium dengan Bioethanol menjadi Biopremium sangat mungkin. Selain regulasi dan potensi bahan baku yang potensial, juga konsep Biopremium akan sangat memberi dampak positif terhadap produksi bioethanol yang berbasis rakyat banyak. Tentu, pemerintah dan seluruh stakeholder BBM dan bioethanol terlebih dahulu menentukan cetak biru secara nasional yang juga disetujui oleh parlemen agar menjadi gerakan nasional pemberdayaan energy berbahan baku terbarukan.

Dengan mencampurkan premium (90%) dengan kadar oktan 88 dengan bioethanol (10%) dengan kadar oktan 118 menjadi Biopremium dengan kadar oktan sekitar 90 an, maka dengan harga jual sekitar misalnya Rp. 7.000 per liter, maka yang diuntungkan bukan saja APBN tetapi juga geliat ekonomi rakyat yang terdampak positif atas kebijakan diversifikasi produksi bioethanol berbasis kerakyatan akan sangat luar biasa besar. Bahkan boleh jadi, dengan langkah secara bertahap penggunaan Biopremium, maka secara bertahap pula Negara tengah mentransformasi ke penggunaan BBM berbahan baku terbarukan.

Mungkin penggunaan BioPremium secara besar-besaran tidak akan secepat Premix namun, terdapat keuntungan yang dapat dirasakan bukan saja oleh pemerintah tapi juga masyarakat luas. Secara piskologis, rakyat akan lebih menerima solusi Biopremium ketimbang Premix. Sebab, konsumen bahan bakar minyak, akan melihat ada kompensasi berupa dampak positif keuntungan bagi diversifikasi produksi bioethanol berbasis kerakyatan. Misalnya, akan tumbuh subur pabrik yang memproduksi bioethanol skala mikro, menengah dan besar berbasis rakyat yang akan melibatkan tenaga kerja puluhan juta orang. Tentu saja akan terjadi diversifikasi produksi bahan baku berupa memperluar jutaan hektar perkebunan (aren, misalnya) dan jutaan hektar pertanian (lahan singkong).

Seyogyanya, pemerintah cukup serius mengelaborasi wacana wamen ESDM yang mewacanakan Premix. Dalam jangka pendek, boleh jadi wacana penggunaan premix bisa dipertimbangkan, meskipun keuntungannya sepihak yakni pemerintah saja. Tetapi secara bersamaan pemerintah segera melaksanakan prakondisi penerapan bioremium dalam jangka menengah. ###wallahu’alam

Jumat, 27 Agustus 2010

Singkong dan Bisnis Minyak Rakyat




Wahyudin Munawir
Anggota Komisi VII DPR RI, Alumnus ITB

Republika, Rabu, 05 Desember 2007

Harga minyak dunia yang melambung, sudah lama diprediksi. Logikanya, minyak bumi (fossil fuel) adalah bahan bakar yang tak dapat diperbarui. Cepat atau lambat, minyak dunia akan habis. Saat ini, harga minyak memang sedang booming karena kebutuhan negara-negara industri baru seperti India dan Cina sangat tinggi.

Ke depan, jika negara-negara di dunia tak segera mengantisipasi kelangkaan fossil fuel, harga minyak akan naik tinggi sekali. Tapi sebaliknya, jika negara-negara di dunia menyiapkan antisipasinya sejak sekarang, niscaya harga minyak tak akan naik lagi, bahkan bisa turun. Mengapa? Karena dunia nantinya bisa mencari pengganti minyak fosil yang aman, murah, dan mudah diproduksi oleh siapa pun. Saat ini, industri minyak hanya dipegang oleh para pemodal besar.

Biofuel dari Sukabumi
Majalah Trubus edisi November 2007 memaparkan ‘kebun-kebun penghasil bensin di Pulau Jawa’. Di wilayah Sukabumi, misalnya, ternyata sudah muncul industri rumahan biofuel yang sederhana. Pak Soekani dari kampung Nyangkowek, Kecamatan Cicurug, Sukabumi, salah seorang warga yang memproduksi ‘bensin’ itu. Tiap bulan dia berhasil mengolah singkong menjadi etanol (alkohol) 95 persen sebanyak 2.100 liter.


Dari jumlah itu, 300 liter dijual ke pengecer premium, dan 800 liter lainnya dijual ke industri kimia. Harga per liter etanol itu, Rp 10 ribu. Tiap liter etanol dibuat dari 6,5 kg singkong. Harga produksi etanol per liter Rp 3.400-Rp 4.000. Dari bisnis ‘energi’ yang berasal dari singkong itu, Pak Soekani mendapatkan omzet 21 juta per bulan. Langkah Pak Soekani itu, kini mulai banyak diikuti penduduk desa lainnya.

Mungkin anda bertanya, mengapa pengecer premium mau membeli etanol made in Pak Soekani seharga Rp 10 ribu per liter? Ternyata, pasar itu tercipta dari pengalaman tukang ojek di Cicurug. Premium yang dicampur 5-10 persen alkohol, angka oktannya naik. Kendaraan makin bertenaga dan bahan bakarnya makin hemat 20-30 persen. Belakangan, di Sukabumi juga sudah ada orang yang membuat kompor berbahan bakar alkohol. Kompor jenis ini, konon, lebih irit.

Kisah Pak Soekani menggambarkan bahwa bisnis biofuel tidak seperi fossil fuel (dalam hal ini BBM), bisa dilakukan siapa saja, bahkan dengan skala rumahan dan kaki lima. Karena itu, ke depan, jika pemerintah dan masyarakat ramai-ramai mengembangkan biofuel, niscaya kesejahteraan di Indonesia akan makin merata. Tak hanya itu, lahan-lahan kosong pun akan menghijau.

Memang ada kekhawatiran bahwa kebun-kebun biofuel itu akan merusak lingkungan dan keanekaragaman jenis di Indonesia. Namun jika sejak awal pemerintah membuat peta pengembangan industri biofuel secara nasional, niscaya kekhawatiran tersebut bisa direduksi. Ini karena pada peta tersebut akan ditunjukkan daerah-daerah yang pas untuk mengembangkan biofuel jenis tertentu.

Peluang bisnis biofuel di dunia sangat besar. Berdasarkan laporan Clean Edge seperti dikutip buku The Clean Tech Revolution (2007) karya Ron Pernick dan Clint Wilder, pasar biofuel di dunia tahun 2006 mencapai 20,5 miliar dolar AS (untuk etanol dan biodisel). Nilai pasar itu akan meningkat empat kali lipat pada tahun 2016. Di AS, etanol dicampur dengan gasoline (premium) dengan kadar campuran 2-85 persen. Di Brazil, sudah diproduksi mesin-mesin yang bisa memakai etanol seluruhnya (100 persen). Namun demikian, kondisi pasar etanol di Brazil sangat fleksibel. Jika harga BBM tinggi sekali, maka campuran etanol pada premium diperbesar, dan sebaliknya.

Tahun 2006, produksi etanol di dunia mencapai 12 miliar galon. Di AS, campuran premium dan 10 persen etanol (E-10) dipakai mobil-mobil tanpa modifikasi mesin. Sedangkan untuk campuran 85 persen etanol (E-85), mesinnya dimodifikasi dengan flex-fuel vehicle (FFVs). Jika produksi etanol di dunia makin besar dan kendaraan di dunia sudah pro-biofuel, niscaya semua kendaraan di muka bumi akan memakainya. Jika sudah demikian, ‘emas hitam’ yang berasal dari kilang-kilang minyak di Timur Tengah akan bergeser ke ‘emas hijau’ yang berasal dari kebun-kebun minyak di daerah tropis seperti Asia dan Amerika Latin.

Pemerataan ekonomi
Setiap ada ancaman, pasti ada peluang. Harga minyak yang mahal jangan hanya dilihat sebagai ancaman, melainkan juga peluang. Peluang ini bisa menyadarkan seluruh komponen masyarakat Indonesia bahwa ketergantungan pada BBM adalah sangat berbahaya dan kita punya kesempatan besar untuk mengkonversi BBM ke biofuel. Tanah Indonesia yang subur merupakan aset untuk membangun kemandirian sumber energi terbarukan. AS dan Eropa juga Jepang dan Cina saat ini tengah bahu membahu mengganti ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Ketika Singkong Banyak Diincar


Rencana pengembangan 30 pabrik bioetanol untuk memproduksi bahan bakar nabati dari singkong mendongkrak harga singkong sampai 100%.

Singkong sudah naik kelas. Dulu si ubi kayu ini hanya dijadikan sumber pangan kelas bawah, gaplek, tapioka, dan pakan ternak. Kini, ia bisa disulap menjadi bahan bakar yang sangat potensial, bioetanol. Oleh sebab itu, diperkirakan singkong akan jadi bahan rebutan antara pabrik tapioka, pabrik pakan, maupun pabrik etanol.

sumber :

http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=805

Senin, 23 Agustus 2010

PROSPEK BIOETANOL


A.Pengantar

Bioetanol atau Biofuel dikenal sebagai Bahan Bakar Nabati yang ramah lingkungan, merupakan sumber energi terbarukan yang menjadi alternatif pengganti (substitusi) dari bahan bakar minyak yang akan habis ketersediaannya sebagaimana yang telah mulai dirasakan masyarakat dunia saat ini.

Indonesia telah mengeluarkan regulasi tata-niaga produksi dan pemanfaatan bioetanol (biofuel) melalui KepMen tertangal 26 September tahun 2008 yang memungkinkan dunia usaha mengembangkan produksi bioetanol (biofuel) untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Disamping itu, Kementererian ESDM dan TIMNAS BIOETANOL terus menggalakkan inovasi pengembangan produksi bioetanol di Indonesia.

B. Regulasi Pemerintah

  • Kewenangan setingkat Gubernur untuk izin operasional kapasitas produksi diatas 5.000 ton/tahun s/d 10.000 ton/tahun.
  • Kewenangan setingkat Bupati/Walikota, untuk izin operasional kapasitas produksi hingga 5.000 ton/tahun.
  • Setiap daerah Propinsi/Kabupaten-Kota wajib memanfaatkan penggunaan bioetanol hingga 15% dari kuota BBM didaerahnya.
  • Penggunaan untuk kendaraan otomotif maksimal 10% dari kuota nasional, dalam bentuk campuran.
    Catt. Campuran 9 liter bensin premium + 1 liter bioetanol = PERTAMAX Plus
  • Indikasi harga disesuaikan dengan mekanisme pasar, atau dibawah BBM Non Subsidi
  • Peluang distribusi secara mandiri (independent).
  • Peluang eksport bioetanol

C. Pemanfaatan Produk Bioetanol

  1. Kadar 60% s/d 70%, sebagai substitusi produk alkohol (industri farmasi) sebagai substitusi Bahan Bakar Minyak jenis minyak tanah
  2. Kadar 70% s/d 80%, sebagai substitusi produk alkohol (industri farmasi)
  3. Kadar 70% s/d 90%, sebagai bahan pendukung produksi makanan & minuman
  4. Kadar 99,5% sebagai substitusi Bahan Bakar Minyak jenis bensin.

D. Peluang Industri Pendukung Produksi Bioetanol

  1. Kompor Bioetanol,
    a. Teknologi produksi sederhana dan mudah dikembangkan (inovasi)
    b. Tidak membutuhkan alat pendukung seperti tabung gas elpiji
    c. Nilai efisiensi dan ekonomis sangat tinggi
    · satu liter bioetanol samadengan dua setengah liter minyak tanah
    · proses pemasakan tidak ber-jelaga (bercak hitam) pada wadah memasak
    · proses peng-api-an sangat aman
    · kualitas peng-api-an lebih baik dibandingkan gas
    d. Peluang pasar yang besar dan lebar
  2. Depo Distribusi Bioetanol
    a. Penjualan Produk Campuran
    b. Penjualan Eceran Rumah Tangga dan Industri
  3. Bengkel Modifikasi
    a. Spare-part modifikasi sederhana kendaraan roda dua, atau bengkel modifikasi
    b. Spare-part modifikasi sederhana generator listrik, atau bengkel modifikasi

E. Hambatan dan Tantangan

  1. Kapasitas produksi tertinggi bioetanol yang di-izinkan pemerintah tidak mencukupi untuk memenuhi pasokan kebutuhan nasional dan mengurangi peluang pencapaian laba maksimum.
  2. Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran pada setiap wilayah kerja setingkat propinsi dan kabupaten dalam bentuk kemitraan terintegrasi (pendekatan konsorsium) adalah tantangan yang menjanjikan bagi pertumbuhan usaha dan investasi
  3. Pergerakan pasar cenderung bersifat lokal – teritorial, sehingga kualitas dan stabilitas kultur korporasi dan kebijakan manajemen menjadi isu utama untuk dibakukan.

Aren Bioethanol

  • 60% pohon aren di dunia terdapat di Indonesia (Provinsi Sulawesi, Maluku, Papua, dan Sumatera)
  • Getah pohon aren mengandung air nira (saguer) yang dikumpulkan dari
  • Getah dipanen untuk menghasilkan gula dan dapat juga difermentasikan mnjadi cuka dan arak
  • Getah yang telah difermentasikandidestilasi untuk dikembangkan menjadi sumber biofuel (ethanol) yang utama
  • Pohon aren yang (?) digunakan untuk produksi tepung sagu
  • Pohon aren mulai dapat disadap setelah berumur 5 tahun
  • Produktivitas pohon aren mencapai hingga 5 tahun
  • Pohon aren mampu menghasilkan 20 liter air nira per-hari dengan potensi produksi 36.000 liter per pohon.
  • Harga air nira aren berkisar antara Rp. 150,- – 250,- / liter

OBROLAN BIOETANOL INDONESIA

Yuk, kita lanjutkan obrolan di postingan tanggal 17 Mei 2009, pada “demam bioetanol” (jilid 1). Kalau pada minggu lalu, kita udah diskusi manfaat bioetanol yakni aplikasi pada kompor, sekarang kita bahas pengadaan bioetanol. Saya berpendapat masalah ini penting, karena jangan sampai masyarakat jatuh cinta pada bioetanol yang diintroduksi sebagai bahan bakar kompor pengganti minyak tanah (mintan) bahkan pengganti elpiji. Tapi ….akhirnya masyarakat tetap harus antri untuk mendapatkan bioetanol.
http://umum.kompasiana.com/2009/05/26/demam-bioetanol-jilid-2/

Sabtu, 21 Agustus 2010


This paper examines the possibilities for ethanol production from cassava: the
cropping system, the technological design of a cassava ethanol plant, the use of
waste st reams for biogas production, the economics of production, current market
and potential for cassava ethanol production and sustainability issues have been addressed
.
http://www.probos.net/biomassa-upstream/pdf/FinalmeetingEcofys.pdf
http://www.youtube.com/watch?v=rmFwSogNAEc&feature=related